Menciptakan Tokoh dalam Cerpen
Pelaku atau character dalam cerpen merupakan salah satu dari elemen cerpen. Cerita bisa menjadi (to be) dan ada (being) karena adanya pelaku atau tokoh. Secara umum, pelaku terbagi dua yaitu protagonis dan antagonis. Dalam dongeng, kedua jenis pelaku itu tergambar nyata, misalnya dalam dunia wayang. Pandawa adalah kelompok pelaku protagonis (tokoh baik - putih) dan Kurawa pelaku kelompok antagonis (tokoh jahat - hitam). Tokoh-tokoh serupa juga dapat kita jumpai dalam sinetron yang kini mendominasi layar tivi
Indonesia.
Tokoh Bulat
Untuk menulis cerpen yang baik, tokoh hitam-putih tidaklah relevan. Sebab, yang ditulis bukanlah dongeng, melainkan refleksi peristiwa kehidupan. Seperti yang kita ketahui, orang-orang sekitar kita, termasuk diri kita sendiri adalah bukan semata-mata sebagai antagonis atau protagonist. Melainkan, paduan keduanya. Dalam teori creative writing, tokoh paduan antagonis dan protagonis disebut 'tokoh bulat' (rounded character). Sehingga tokoh tersebut punya dua sisi, antara yang baik dan yang buruk.
Untuk membentuk 'tokoh bulat' diperlukan dinamika pembentukan watak si tokoh melalui konflik yang disajikan dalam cerita. Dinamika pembentukan watak bisa terwujud menarik dan logis, jika di-plotting lebih dahulu. Plotting ini meliputi: pembentukan awal karakter, mendaki ke klimaks cerita hingga anti klimaks.
Cari Model
Penciptaan tokoh yang menggunakan model (ambil contoh seseorang atau lebih yang ada di sekitar kita), akan lebih mudah penyajiannya, dibandingkan dengan tokoh yang murni diciptakan. Tapi, jika pengarang punya idola di dalam benaknya - telah tergambar tokoh seperti apa yang diinginkannya, maka tokoh seperti ini akan mudah terhadirkan.
"Saya mulai mengarang dengan menciptakan para pelakunya, lengkap dengan watak-wataknya. Ini merupakan awal seorang pengarang melangkahkan pensilnya di atas kertas - menuliskan karyanya." Demikian kata sastrawan Amerika Serikat Wiliam Faulkner. Ia mengambil model orang-orang sekitarnya, sebagai sumber inspirasinya. Khususnya, orang-orang yang tertindas hak-haknya. Hal serupa dilakukan pula oleh sastrawati Afrika Selatan, Nadine Gordimer. Hasilnya? Tokoh-tokoh yang mereka hadirkan benar-benar mewakili masyarakat yang diceritakan dalam karyanya. Dengan demikian, karya-karya mereka begitu terasa hidup dan teresapi.
Pahlawan dan Monster
Tokoh berwatak pahlawan dan tokoh berwatak monster banyak disajikan dalam cerita komik atau cerita pop. Tokoh berwatak pahlawan lazimnya dipuja dan tokoh monster dibenci pembaca. "Saya selalu berusaha menciptakan tokoh bersosok hero, tapi berhati monster," kata Stephen King, pengarang cerita bertema gothic yang cukup laris. Yang dimaksud hero di sini adalah
bersosok tampan, gentleman dan mempesona. Dengan demikian, tokoh jahat tidak selalu dihadirkan dengan sosok atau fisik yang buruk seperti tokoh Rahwana dalam seri Ramayana.
Stephen King - meskipun bukunya sangat laris, ia tidak termasuk kategori sastrawan. Karena karya-karyanya lebih banyak dibumbui khayalan, sepertihalnya karya cerita pop pada umumnya. Tapi ia punya kelebihan, piawai dalam menciptakan tokoh dengan perwatakannya yang meyakinkan pembacanya. Misalnya, dalam karyanya yang berjudul Misery - tidak hanya
sebagai buku laris tapi juga film sangat laris. Rahasianya? Ia padukan antara watak pahlawan dan monster.
Potret Diri
Susan Sontag, sastrawati Amerika Serikat yang juga wartawati ini mengaku menciptakan tokoh untuk novel-novelnya bersumber dari diri sendiri. Maka ia sebut, sebagai potret diri - watak, sosok dan pengalaman hidup. Memang itu sangat terbatas. Ia melengkapinya dengan mengambil model orang-orang sekitarnya. Baginya, 'potret diri' lebih meyakinkan dan logis untuk diterima
pembacanya. Tapi, itu bukan berarti membuka rahasia diri, melainkan - menurut istilahnya: mengekspresikan diri.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kita, menciptakan tokoh-tokoh dalam karya-karyanya banyak diambil dari tokoh-tokoh sejarah yang dibaca dan ditelitinya. Misalnya, Ken Arok dan R.A. Kartini. Sehingga tokoh-tokoh yang ditampilkannya memiliki 'api' - bukan sekadar tokoh rekaan.
Nama dan Tokoh
Dalam teori creative writing, pelaku/tokoh untuk karya fiksi tidak harus manusia. Apa saja bisa dijadikan pelaku, tapi harus dimanusiakan (dijadikan manusia). Para pelaku yang kita ciptakan harus diberi nama, walau nama itu misalnya hanya sebutan saja: Si Gendut, Si Kurus atau Si Kacamata - disesuaikan dengan fisiknya. Iwan Simpatupang melakukan itu, untuk menyebut para pelaku dalam karya-karyanya (baca novel Iwan, antara lain Kering atau Merahnya Merah).
Nama tokoh yang ideal, sesuai dengan latar belakangnya: suku/ras, budaya dan agama. Misalnya untuk gadis Jawa banyak yang diberi nama Sri, Endang, Astuti dan Kus. Gadis Sunda dinamai Euis, Iis, Neneng dan Eti. Sedangkan gadis-gadis dari keluarga muslim diberi nama Aisyah, Nurul dan Siti.
Beda lagi dengan gadis Minang, gadis Manado, gadis Cina atau gadis Barat. Seiring dengan lajunya globalisasi, kini nama-nama tersebut di atas perlahan-lahan lenyap, tergantikan dengan nama Barat: Grace, Anne, Jane, Florence dan sebagainya. Anak laki-laki banyak yang dinamai Kevin, Roy, Ryan, Brian, Brandon, Luke dan sebagainya. Latar belakang suku, ras, agama
dan budaya tergilas oleh nama Barat. Kaitannya dengan dunia menulis fiksi, nama-nama Barat tersebut kini banyak digunakan pengarang muda untuk tokoh-tokoh ciptaannya.
Tokoh, Nama dan Sinetron
Pengaruh sinetron tidak hanya berdampak pada gaya hidup dan gaya bicara para remaja kita, akan tetapi juga menukik ke dunia menulis fiksi. Ini terbukti, dari 100 cerpen karya remaja yang diikutikan dalam Lomba Menulis Cerira Remaja (LMCR) yang diselenggarakan PT ROHTO-Rayakultura sejak lima tahun yang lalu, 80%-nya menyajikan tokoh dengan nama yang sama dari sinetron yang mereka tonton. Baik itu nama pemain sinetronnya atau nama pelaku yang ada di sinetron. Misalnya nama Nyla, Keisha, Sila, Mawar, Melati, Luna Maya, Bintang, Roy, Ryan, Kikan, Edo, Azam, Tithan dan sebagainya.
Apa akibatnya?
Akibatnya, cerita yang mereka tulis menjadi cair dan aneh. Karena, cerita itu menjadi tidak punya akar latar belakang yang jelas: suku/ras, budaya dan agama. Juga, tidak memunculkan watak para pelaku dengan utuh. Padahal peran tokoh dalam cerita adalah pembawa misi inti cerita yang disajikan.* (Oleh: Naning Pranoto)
Indonesia.
Tokoh Bulat
Untuk menulis cerpen yang baik, tokoh hitam-putih tidaklah relevan. Sebab, yang ditulis bukanlah dongeng, melainkan refleksi peristiwa kehidupan. Seperti yang kita ketahui, orang-orang sekitar kita, termasuk diri kita sendiri adalah bukan semata-mata sebagai antagonis atau protagonist. Melainkan, paduan keduanya. Dalam teori creative writing, tokoh paduan antagonis dan protagonis disebut 'tokoh bulat' (rounded character). Sehingga tokoh tersebut punya dua sisi, antara yang baik dan yang buruk.
Untuk membentuk 'tokoh bulat' diperlukan dinamika pembentukan watak si tokoh melalui konflik yang disajikan dalam cerita. Dinamika pembentukan watak bisa terwujud menarik dan logis, jika di-plotting lebih dahulu. Plotting ini meliputi: pembentukan awal karakter, mendaki ke klimaks cerita hingga anti klimaks.
Cari Model
Penciptaan tokoh yang menggunakan model (ambil contoh seseorang atau lebih yang ada di sekitar kita), akan lebih mudah penyajiannya, dibandingkan dengan tokoh yang murni diciptakan. Tapi, jika pengarang punya idola di dalam benaknya - telah tergambar tokoh seperti apa yang diinginkannya, maka tokoh seperti ini akan mudah terhadirkan.
"Saya mulai mengarang dengan menciptakan para pelakunya, lengkap dengan watak-wataknya. Ini merupakan awal seorang pengarang melangkahkan pensilnya di atas kertas - menuliskan karyanya." Demikian kata sastrawan Amerika Serikat Wiliam Faulkner. Ia mengambil model orang-orang sekitarnya, sebagai sumber inspirasinya. Khususnya, orang-orang yang tertindas hak-haknya. Hal serupa dilakukan pula oleh sastrawati Afrika Selatan, Nadine Gordimer. Hasilnya? Tokoh-tokoh yang mereka hadirkan benar-benar mewakili masyarakat yang diceritakan dalam karyanya. Dengan demikian, karya-karya mereka begitu terasa hidup dan teresapi.
Pahlawan dan Monster
Tokoh berwatak pahlawan dan tokoh berwatak monster banyak disajikan dalam cerita komik atau cerita pop. Tokoh berwatak pahlawan lazimnya dipuja dan tokoh monster dibenci pembaca. "Saya selalu berusaha menciptakan tokoh bersosok hero, tapi berhati monster," kata Stephen King, pengarang cerita bertema gothic yang cukup laris. Yang dimaksud hero di sini adalah
bersosok tampan, gentleman dan mempesona. Dengan demikian, tokoh jahat tidak selalu dihadirkan dengan sosok atau fisik yang buruk seperti tokoh Rahwana dalam seri Ramayana.
Stephen King - meskipun bukunya sangat laris, ia tidak termasuk kategori sastrawan. Karena karya-karyanya lebih banyak dibumbui khayalan, sepertihalnya karya cerita pop pada umumnya. Tapi ia punya kelebihan, piawai dalam menciptakan tokoh dengan perwatakannya yang meyakinkan pembacanya. Misalnya, dalam karyanya yang berjudul Misery - tidak hanya
sebagai buku laris tapi juga film sangat laris. Rahasianya? Ia padukan antara watak pahlawan dan monster.
Potret Diri
Susan Sontag, sastrawati Amerika Serikat yang juga wartawati ini mengaku menciptakan tokoh untuk novel-novelnya bersumber dari diri sendiri. Maka ia sebut, sebagai potret diri - watak, sosok dan pengalaman hidup. Memang itu sangat terbatas. Ia melengkapinya dengan mengambil model orang-orang sekitarnya. Baginya, 'potret diri' lebih meyakinkan dan logis untuk diterima
pembacanya. Tapi, itu bukan berarti membuka rahasia diri, melainkan - menurut istilahnya: mengekspresikan diri.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kita, menciptakan tokoh-tokoh dalam karya-karyanya banyak diambil dari tokoh-tokoh sejarah yang dibaca dan ditelitinya. Misalnya, Ken Arok dan R.A. Kartini. Sehingga tokoh-tokoh yang ditampilkannya memiliki 'api' - bukan sekadar tokoh rekaan.
Nama dan Tokoh
Dalam teori creative writing, pelaku/tokoh untuk karya fiksi tidak harus manusia. Apa saja bisa dijadikan pelaku, tapi harus dimanusiakan (dijadikan manusia). Para pelaku yang kita ciptakan harus diberi nama, walau nama itu misalnya hanya sebutan saja: Si Gendut, Si Kurus atau Si Kacamata - disesuaikan dengan fisiknya. Iwan Simpatupang melakukan itu, untuk menyebut para pelaku dalam karya-karyanya (baca novel Iwan, antara lain Kering atau Merahnya Merah).
Nama tokoh yang ideal, sesuai dengan latar belakangnya: suku/ras, budaya dan agama. Misalnya untuk gadis Jawa banyak yang diberi nama Sri, Endang, Astuti dan Kus. Gadis Sunda dinamai Euis, Iis, Neneng dan Eti. Sedangkan gadis-gadis dari keluarga muslim diberi nama Aisyah, Nurul dan Siti.
Beda lagi dengan gadis Minang, gadis Manado, gadis Cina atau gadis Barat. Seiring dengan lajunya globalisasi, kini nama-nama tersebut di atas perlahan-lahan lenyap, tergantikan dengan nama Barat: Grace, Anne, Jane, Florence dan sebagainya. Anak laki-laki banyak yang dinamai Kevin, Roy, Ryan, Brian, Brandon, Luke dan sebagainya. Latar belakang suku, ras, agama
dan budaya tergilas oleh nama Barat. Kaitannya dengan dunia menulis fiksi, nama-nama Barat tersebut kini banyak digunakan pengarang muda untuk tokoh-tokoh ciptaannya.
Tokoh, Nama dan Sinetron
Pengaruh sinetron tidak hanya berdampak pada gaya hidup dan gaya bicara para remaja kita, akan tetapi juga menukik ke dunia menulis fiksi. Ini terbukti, dari 100 cerpen karya remaja yang diikutikan dalam Lomba Menulis Cerira Remaja (LMCR) yang diselenggarakan PT ROHTO-Rayakultura sejak lima tahun yang lalu, 80%-nya menyajikan tokoh dengan nama yang sama dari sinetron yang mereka tonton. Baik itu nama pemain sinetronnya atau nama pelaku yang ada di sinetron. Misalnya nama Nyla, Keisha, Sila, Mawar, Melati, Luna Maya, Bintang, Roy, Ryan, Kikan, Edo, Azam, Tithan dan sebagainya.
Apa akibatnya?
Akibatnya, cerita yang mereka tulis menjadi cair dan aneh. Karena, cerita itu menjadi tidak punya akar latar belakang yang jelas: suku/ras, budaya dan agama. Juga, tidak memunculkan watak para pelaku dengan utuh. Padahal peran tokoh dalam cerita adalah pembawa misi inti cerita yang disajikan.* (Oleh: Naning Pranoto)