Cerpen : Tukang Cerita
Mukadimah Satu
API unggun, yang menyeruak dari onggokan ranting-ranting kering itu, menari-nari. Bagai hendak menjerat mata orang-orang agar tetap bersiduduk. Perempuan tua berkerudung wol duduk agak maju dari yang lain. Ia datang dari ceruk yang menyumpil di antara barisan Bukit Siguntang yang memunggungi langit. Tentu saja tak perlu ditanya di barisan mana ia tinggal. Hanya orang-orang datangan atau anak-anak belum terang menangkap maksud saja, yang tak mengetahuinya. Saban Kamis malam, ia selalu menunggu penduduk di tepian lereng anak bukit. Orang-orang kampung pun bagai menganggap sebuah kewajiban berkumpul di sana. Mendengarkan kisah-kisah pelepas lelah darinya. Dari Tukang Cerita, demikian orang-orang menggelarinya.Sejatinya, tukang cerita itu layak jua dipanggil Tukang Ladang. Ladangnya sangat luas dan subur. Padi, jagung, pisang, ubi kayu, buah kam, kedondong, nanas, pisang raja, pinang merah, dan keladi bagai berebutan menyeruak dari ladangnya. Konon, menyebut satu-satu dari apa-apa yang dipelihara perempuan tukang cerita itu, lama waktunya bak menanti ikan menyinggul kail yang digelayutkan satu depa di atas permukaan air. Nah, bertakjublah kalian dengan apa-apa yang ia punyai! Tidakkah si Tukang Cerita (atau Tukang Ladang) itu sangatlah kaya? Mahfumlah bila pesirah–– kepala kampung–– saja mengeret badan ikut demi mendengar (atau menghormati) ia berkisah. Atau, embusan kabar bahwa malam ini, perempuan itu akan bercerita untuk terakhir kalinya. Itu betul? Jadi, perihal Tukang Cerita yang akan meninggalkan kampung, demi menggarap ladang lain (yang ia belum tahu di bukit mana itu) adalah sahih? Mmm, dapatlah jua itu menjadi hulu perkara hingga pesirah saja berela-rela melipat silang kaki, menyilakan pantatnya berciuman dengan rumput hijau setinggi kelingking di dekat lereng bukit itu.
Mukadimah Dua
“Ladang itu warisan ibuku yang hanya seorang janda. Tapi, bukanlah ladang itu peninggalannya yang paling mahal. Caranya menggarap dan memperlakukan hasil ladanglah yang membuatku bagai dikaruniai bergununggunung mutu manikam.” Kalimat usang itu (ia mengutarakannya puluhan tahun silam) bagai mengandung semacam rahasia. Bukan magis. Namun, ada kekuatan (sekaligus pesona) yang bersembunyi di balik kabar. Terang. Lamat-lamat. Ditambah pula warna suaranya yang memang parau sengau. Lumrahlah kiranya si Tukang Cerita kerap berhenti beberapa jenak setiap mengakhiri seleretan kalimat. Orang-orang bagai disuruh berpikir, mengurai arti. Ketika ia telah memasuki kata-kata yang baru, rugilah mereka yang belum dapat menguak pintu hikmah dari tuturan sebelumnya.
Ibu yang mewarisi ladang
“Malam ini, aku akan bercerita tabiat ibuku dan ladang yang diwasiatinya padaku. Ibuku sangat rajin bekerja. Itu bukan artinya aku sering berleha-leha. Segera, setelah aku dapat berjalan dan membawa sesuatu, Ibu akan menyuruhku ini-itu. Macam-macam suruhannya. Dari pekerjaan yang memang penting hingga yang kupikir tak layak untuk dikerjakan. Pekerjaan itu semacam menyapu, mengambil air dari lembah lain yang berjarak dua bukit dari rumah kayu kami, memberi makan binatang-binatang, sampai menangkap belalang rusa. Perlulah kukatakan bahwa binatang-binatang yang kuberi makan, bukan hanya ayam, bebek, atau unggas lain yang lazim dipelihara. Aku juga menyuap burung kuwau dengan ikan seluang; menguntal––melempari untuk memberi makan––musang dengan mangga dan kedondong; dan meletakkan senampan daging kambing segar di sudut ladang yang sudah biasa harimau kunjungi bila waktu makan tiba. Bahkan, belalang rusa yang kutangkap dengan jarit tipis sering kuterbangkan di hamparan kembang sepatu yang sedang bermekar. ‘Itu memanjakan bunga, nak,’ kata ibuku. Jadi, taklah mengherankan, ketika itu, masih dijumpai lebih dari satu warna kembang sepatu dalam kanopi yang sama. ‘Belalang juga bisa menggantikan kupu-kupu menukar silang bubukbubuk bunga,’ kata ibu lagi. Dan, kalian juga mesti tahu perihal Bukit Barisan yang subur itu. Maksudku, Siguntang memanglah rumah pepohonan yang subur hijau. Namun, siapa yang tepat berkira-kira kalau empat baris bukit yang memalangi kampung ini, dulunya, sangatlah gersang!” Tukang Cerita berhenti pada tekanan suara yang sedikit mengentak.
Orang-orang seakan terhenyak. Namun, bibir mereka masih mengatup rapat. Takjub (atau heran) dengan pembukaan ceritanya yang panjang itu (tak biasanya Tukang Cerita berkisah panjang-panjang dalam satu ketukan). Beberapa dari mereka menambah puntung-puntung baru. Api unggun masih berkibar.
“Dahulu, ketika kampung ini hanya dihuni puyang (tetua; satu generasi di atas kakek nenek), hidup sangatlah tak mudah. Tanahnya tandus, airnya sulit didapat, musim dinginnya tak ramah, dan musim panasnya begitu menyengat. Bertahan hidup berarti bekerja. Dan, bekerja sangatlah keras. Bekerja keras pun bukan jaminan bahwa hidup akan baik. Panen kadang gagal, ayam bebek mati karena sakit, sayur-mayur dipatok ayam kalkun, cabe-cabe kerap mengeriting, dan pohon-pohon buah pun mandul. Dan, kalian harus tahu kalau ibuku sangatlah hebat pikirannya. Ia temukan musababnya. Ia memutuskan menjadi Sulaiman. Ia berkawan dengan binatang-binatang itu. Tentu, tadi kalian sempat bertanya-tanya perihal aku yang memberi makan binatang-binatang itu, bukan? Hehehe.”
Orang-orang tak ada yang berani ikut serta dalam kekehannya yang meremangkan bulu kuduk itu.
“Mengertilah aku. Kita hidup tak sendirian di tanah Tuhan ini. Binatang-binatang itu bukan simsalabim saja diturunkan. Pun, mereka diserakkan bukan untuk merusak ladang. Bukan! Mereka ada karena memang patut ada. Itulah taklimat alam. Aku pun tekun menyiram tanaman dan melakoni pekerjaan lainnya. Hari demi hari, aku tak lagi menganggap tugastugasku sebagai beban. Aku terbiasa. Bahkan menikmatinya.”
Orang-orang sumringah dalam diam. Air muka mereka berbicara, “Lanjutkanlah.”
“Tapi, aku sedikit tak bergairah bila ibu menyuruh mengantarkan hasil-hasil ladang pada orang-orang kampung. Mmm, itu artinya beban bawaanku tak akan berkurang.”
“Maksud Nenek?” seorang gadis memberanikan diri bertanya. Yang lain seolah dikomando, melihat ke arahnya. “Orang-orang tak ada yang mau menerima pemberian ibu Nenek?”
“Hehehe,” ia kembali terkekeh. “Bukan, cucuku. Mereka semua menerima pemberian itu. Tapi, mereka selalu tak membiarkanku pulang dengan tangan hampa. Baju kurung, seprai rajut, asbak tanah liat, kain panjang, jelapang, mereka titip untuk ibu. Padahal, telah aku sampaikan bahwa mereka tak disilakan membayar. Tapi, pandai saja mereka bersilat kata. Hadiah, demikian mereka menamainya. Jadi, kalian bayangkanlah. Bagaimana bila puluhan rumah yang kudatangi? Dan, perkara belum khatam sampai di situ.
Ketika kukabari hadiah-hadiah itu, ibu berujar, ‘Syukur pada Tuhan, anakku. Tapi, kau tahu kalau barang-barang yang mereka hadiahi ini telah kita punyai semua, bukan?’ Ia akan menatapku dengan sorot mata yang seolah ia yakin sekali bahwa aku memahami kata-katanya. Maka, pergilah aku ke kalangan yang digelar saban Kamis. Menjual barang-barang milik kami. ‘Tak elok menjual apa-apa yang orang hadiahkan pada kita. Tak berhormat. Lagi pula, tak ada ruginya menjual barang-barang yang sama rupa faedahnya dengan yang dihadiahkan orang-orang itu, nak.’ Oh, Tuhan, berjualanlah aku semua barang itu (di antaranya ada selendang kesayanganku). Dan, selalu aku yang paling awal meninggalkan kalangan. Jualananku memang paling murah. Uang hasil jualan itu kutabung separuh. Separuh lagi, sesuai petuah ibu, kubelikan penganan kecil untuk dibagikan pada anak-anak yang berkeriapan di kampung-kampung yang kulalui.”
Orang-orang menatap Tukang Cerita dengan kedipan yang berkelang lebih lama dari biasanya. Mereka khusyuk sekali.
“Suatu malam, aku pulang dalam keadaan yang sangat letih. Namun, keletihan itu menguap ketika ibu menyambutku di daun pintu. ‘Dari tadi ibu menunggumu, nak. Mari, kita santap bubur kacang hijau bersama. Ibu juga baru panen madu. Mmm, kau tahulah, bagaimana bila liur lebah itu bepadu dengan bubur buatan ibu.’ Aku bersemangat sekali. Aku sampai minta tambah dua kali. Dan, tak seperti biasanya, ibu mengantarku tidur dengan sebuah dongeng (aku lupa judulnya dan tentang apa) yang begitu elok disimak. Aku terlelap.”
“Terus, Nek!” desak seorang anak tak sabar. Diikuti yang lain.
Tukang Cerita tersenyum takzim. “Adalah pagi itu. Aku bangun ketika duha. Ibu tentu sudah tak ada lagi di dekatku. Ya, ia selalu bangun jauh lebih awal dariku walaupun tidurnya selalu kudahului. O o, ada yang tak lazim. Bukankah ibu biasanya membangunkanku untuk shalat Subuh? Aku gegas bangkit dari dipan. Syukurlah, di sudut bilik, kulihat ibu masih tertidur dengan senyum menyabit indah di wajah. Mungkin, ibu terlalu lelah, pikirku. Aku pun melakukan pekerjaan seperti biasanya. Menyapu laman, menabur jagung di kandang ayam, mengobok nasi dengan air dingin untuk bebek. Ketika kembali, ibu masih tertidur. Oh, ada yang salah!”
“Ibunya Nenek meninggal?” seseorang bertanya setengah bergumam. Tampaknya, ia sedang menahan tangis.
Tukang Cerita terdiam. Matanya basah. Dan, sesenggukan massal pun menguasai lereng bukit yang api unggunnya sudah kedip itu.
Khatimah
Entah siapa yang mula-mula menerbangkan kabar itu: Tukang Cerita dikubur!
“Apa!” “Jadi ke langit ia pergi?” “Bagaimana ia mati?”
“Ada yang membunuhnya?” “Siapa pula yang mengebumikannya?” Tanya-tanya itu bersigesek dalam benak orangorang kampung. Mereka gegas ke bukit melalui ladang yang tak alang kepalang suburnya, sebelum mendapati onggokan tanah merah basah di sebuah sudut lembah. Pada pangkal dan ujungnya, tertanam batu bujang.
Orang-orang terperangah. Bukan pada kuburan yang baru saja dibuat itu, tapi bertanya-tanya mengapa beberapa ekor harimau menciumi batu bujang kembar itu. Lalu, bagaimana mendatangi makam bagai orang-orang yang melayat.
Senyap. Tatapan orang-orang menyisir ladang di lembah bukit. Tercenung di antara perasaan ganjil yang lamat-lamat menyelinap. Bukan, bukan membayangkan bagaimana bisa binatang-binatang itu menanam Tukang Cerita dan bagaimana pula mereka melakukannya. Bukan jua mempertanyakan siapa ahli waris ladang yang paling hijau itu. Bukan itu.
“Mungkin, ibunya membuka ladang baru di sana.”
Benar atau tidaknya dugaan yang entah dari mana datangnya itu; tak urung, hati mereka bersitidak dalam tangis yang tak berbunyi—karena pedih yang menyesak.
Dan, mereka pun meninggalkan lembah. Naik turun bukit. Kembali ke rumah masing-masing. Membawa serumpun ketakjuban, ketakpercayaan, dan berhibur dengan setangkai harap. Itu bukan kuburan Tukang Cerita! Kami hakkul yaqin, Nenek hanya merantau sejenak. Lalu kembali. Bercerita lagi. Suatu hari nanti. (*)
Lubuklinggau, 23 Agustus 2009-10 Februari 2010
Benny Arnas, peraih Anugerah Sastra Batanghari Sembilan 2009.
API unggun, yang menyeruak dari onggokan ranting-ranting kering itu, menari-nari. Bagai hendak menjerat mata orang-orang agar tetap bersiduduk. Perempuan tua berkerudung wol duduk agak maju dari yang lain. Ia datang dari ceruk yang menyumpil di antara barisan Bukit Siguntang yang memunggungi langit. Tentu saja tak perlu ditanya di barisan mana ia tinggal. Hanya orang-orang datangan atau anak-anak belum terang menangkap maksud saja, yang tak mengetahuinya. Saban Kamis malam, ia selalu menunggu penduduk di tepian lereng anak bukit. Orang-orang kampung pun bagai menganggap sebuah kewajiban berkumpul di sana. Mendengarkan kisah-kisah pelepas lelah darinya. Dari Tukang Cerita, demikian orang-orang menggelarinya.Sejatinya, tukang cerita itu layak jua dipanggil Tukang Ladang. Ladangnya sangat luas dan subur. Padi, jagung, pisang, ubi kayu, buah kam, kedondong, nanas, pisang raja, pinang merah, dan keladi bagai berebutan menyeruak dari ladangnya. Konon, menyebut satu-satu dari apa-apa yang dipelihara perempuan tukang cerita itu, lama waktunya bak menanti ikan menyinggul kail yang digelayutkan satu depa di atas permukaan air. Nah, bertakjublah kalian dengan apa-apa yang ia punyai! Tidakkah si Tukang Cerita (atau Tukang Ladang) itu sangatlah kaya? Mahfumlah bila pesirah–– kepala kampung–– saja mengeret badan ikut demi mendengar (atau menghormati) ia berkisah. Atau, embusan kabar bahwa malam ini, perempuan itu akan bercerita untuk terakhir kalinya. Itu betul? Jadi, perihal Tukang Cerita yang akan meninggalkan kampung, demi menggarap ladang lain (yang ia belum tahu di bukit mana itu) adalah sahih? Mmm, dapatlah jua itu menjadi hulu perkara hingga pesirah saja berela-rela melipat silang kaki, menyilakan pantatnya berciuman dengan rumput hijau setinggi kelingking di dekat lereng bukit itu.
Mukadimah Dua
“Ladang itu warisan ibuku yang hanya seorang janda. Tapi, bukanlah ladang itu peninggalannya yang paling mahal. Caranya menggarap dan memperlakukan hasil ladanglah yang membuatku bagai dikaruniai bergununggunung mutu manikam.” Kalimat usang itu (ia mengutarakannya puluhan tahun silam) bagai mengandung semacam rahasia. Bukan magis. Namun, ada kekuatan (sekaligus pesona) yang bersembunyi di balik kabar. Terang. Lamat-lamat. Ditambah pula warna suaranya yang memang parau sengau. Lumrahlah kiranya si Tukang Cerita kerap berhenti beberapa jenak setiap mengakhiri seleretan kalimat. Orang-orang bagai disuruh berpikir, mengurai arti. Ketika ia telah memasuki kata-kata yang baru, rugilah mereka yang belum dapat menguak pintu hikmah dari tuturan sebelumnya.
Ibu yang mewarisi ladang
“Malam ini, aku akan bercerita tabiat ibuku dan ladang yang diwasiatinya padaku. Ibuku sangat rajin bekerja. Itu bukan artinya aku sering berleha-leha. Segera, setelah aku dapat berjalan dan membawa sesuatu, Ibu akan menyuruhku ini-itu. Macam-macam suruhannya. Dari pekerjaan yang memang penting hingga yang kupikir tak layak untuk dikerjakan. Pekerjaan itu semacam menyapu, mengambil air dari lembah lain yang berjarak dua bukit dari rumah kayu kami, memberi makan binatang-binatang, sampai menangkap belalang rusa. Perlulah kukatakan bahwa binatang-binatang yang kuberi makan, bukan hanya ayam, bebek, atau unggas lain yang lazim dipelihara. Aku juga menyuap burung kuwau dengan ikan seluang; menguntal––melempari untuk memberi makan––musang dengan mangga dan kedondong; dan meletakkan senampan daging kambing segar di sudut ladang yang sudah biasa harimau kunjungi bila waktu makan tiba. Bahkan, belalang rusa yang kutangkap dengan jarit tipis sering kuterbangkan di hamparan kembang sepatu yang sedang bermekar. ‘Itu memanjakan bunga, nak,’ kata ibuku. Jadi, taklah mengherankan, ketika itu, masih dijumpai lebih dari satu warna kembang sepatu dalam kanopi yang sama. ‘Belalang juga bisa menggantikan kupu-kupu menukar silang bubukbubuk bunga,’ kata ibu lagi. Dan, kalian juga mesti tahu perihal Bukit Barisan yang subur itu. Maksudku, Siguntang memanglah rumah pepohonan yang subur hijau. Namun, siapa yang tepat berkira-kira kalau empat baris bukit yang memalangi kampung ini, dulunya, sangatlah gersang!” Tukang Cerita berhenti pada tekanan suara yang sedikit mengentak.
Orang-orang seakan terhenyak. Namun, bibir mereka masih mengatup rapat. Takjub (atau heran) dengan pembukaan ceritanya yang panjang itu (tak biasanya Tukang Cerita berkisah panjang-panjang dalam satu ketukan). Beberapa dari mereka menambah puntung-puntung baru. Api unggun masih berkibar.
“Dahulu, ketika kampung ini hanya dihuni puyang (tetua; satu generasi di atas kakek nenek), hidup sangatlah tak mudah. Tanahnya tandus, airnya sulit didapat, musim dinginnya tak ramah, dan musim panasnya begitu menyengat. Bertahan hidup berarti bekerja. Dan, bekerja sangatlah keras. Bekerja keras pun bukan jaminan bahwa hidup akan baik. Panen kadang gagal, ayam bebek mati karena sakit, sayur-mayur dipatok ayam kalkun, cabe-cabe kerap mengeriting, dan pohon-pohon buah pun mandul. Dan, kalian harus tahu kalau ibuku sangatlah hebat pikirannya. Ia temukan musababnya. Ia memutuskan menjadi Sulaiman. Ia berkawan dengan binatang-binatang itu. Tentu, tadi kalian sempat bertanya-tanya perihal aku yang memberi makan binatang-binatang itu, bukan? Hehehe.”
Orang-orang tak ada yang berani ikut serta dalam kekehannya yang meremangkan bulu kuduk itu.
“Mengertilah aku. Kita hidup tak sendirian di tanah Tuhan ini. Binatang-binatang itu bukan simsalabim saja diturunkan. Pun, mereka diserakkan bukan untuk merusak ladang. Bukan! Mereka ada karena memang patut ada. Itulah taklimat alam. Aku pun tekun menyiram tanaman dan melakoni pekerjaan lainnya. Hari demi hari, aku tak lagi menganggap tugastugasku sebagai beban. Aku terbiasa. Bahkan menikmatinya.”
Orang-orang sumringah dalam diam. Air muka mereka berbicara, “Lanjutkanlah.”
“Tapi, aku sedikit tak bergairah bila ibu menyuruh mengantarkan hasil-hasil ladang pada orang-orang kampung. Mmm, itu artinya beban bawaanku tak akan berkurang.”
“Maksud Nenek?” seorang gadis memberanikan diri bertanya. Yang lain seolah dikomando, melihat ke arahnya. “Orang-orang tak ada yang mau menerima pemberian ibu Nenek?”
“Hehehe,” ia kembali terkekeh. “Bukan, cucuku. Mereka semua menerima pemberian itu. Tapi, mereka selalu tak membiarkanku pulang dengan tangan hampa. Baju kurung, seprai rajut, asbak tanah liat, kain panjang, jelapang, mereka titip untuk ibu. Padahal, telah aku sampaikan bahwa mereka tak disilakan membayar. Tapi, pandai saja mereka bersilat kata. Hadiah, demikian mereka menamainya. Jadi, kalian bayangkanlah. Bagaimana bila puluhan rumah yang kudatangi? Dan, perkara belum khatam sampai di situ.
Ketika kukabari hadiah-hadiah itu, ibu berujar, ‘Syukur pada Tuhan, anakku. Tapi, kau tahu kalau barang-barang yang mereka hadiahi ini telah kita punyai semua, bukan?’ Ia akan menatapku dengan sorot mata yang seolah ia yakin sekali bahwa aku memahami kata-katanya. Maka, pergilah aku ke kalangan yang digelar saban Kamis. Menjual barang-barang milik kami. ‘Tak elok menjual apa-apa yang orang hadiahkan pada kita. Tak berhormat. Lagi pula, tak ada ruginya menjual barang-barang yang sama rupa faedahnya dengan yang dihadiahkan orang-orang itu, nak.’ Oh, Tuhan, berjualanlah aku semua barang itu (di antaranya ada selendang kesayanganku). Dan, selalu aku yang paling awal meninggalkan kalangan. Jualananku memang paling murah. Uang hasil jualan itu kutabung separuh. Separuh lagi, sesuai petuah ibu, kubelikan penganan kecil untuk dibagikan pada anak-anak yang berkeriapan di kampung-kampung yang kulalui.”
Orang-orang menatap Tukang Cerita dengan kedipan yang berkelang lebih lama dari biasanya. Mereka khusyuk sekali.
“Suatu malam, aku pulang dalam keadaan yang sangat letih. Namun, keletihan itu menguap ketika ibu menyambutku di daun pintu. ‘Dari tadi ibu menunggumu, nak. Mari, kita santap bubur kacang hijau bersama. Ibu juga baru panen madu. Mmm, kau tahulah, bagaimana bila liur lebah itu bepadu dengan bubur buatan ibu.’ Aku bersemangat sekali. Aku sampai minta tambah dua kali. Dan, tak seperti biasanya, ibu mengantarku tidur dengan sebuah dongeng (aku lupa judulnya dan tentang apa) yang begitu elok disimak. Aku terlelap.”
“Terus, Nek!” desak seorang anak tak sabar. Diikuti yang lain.
Tukang Cerita tersenyum takzim. “Adalah pagi itu. Aku bangun ketika duha. Ibu tentu sudah tak ada lagi di dekatku. Ya, ia selalu bangun jauh lebih awal dariku walaupun tidurnya selalu kudahului. O o, ada yang tak lazim. Bukankah ibu biasanya membangunkanku untuk shalat Subuh? Aku gegas bangkit dari dipan. Syukurlah, di sudut bilik, kulihat ibu masih tertidur dengan senyum menyabit indah di wajah. Mungkin, ibu terlalu lelah, pikirku. Aku pun melakukan pekerjaan seperti biasanya. Menyapu laman, menabur jagung di kandang ayam, mengobok nasi dengan air dingin untuk bebek. Ketika kembali, ibu masih tertidur. Oh, ada yang salah!”
“Ibunya Nenek meninggal?” seseorang bertanya setengah bergumam. Tampaknya, ia sedang menahan tangis.
Tukang Cerita terdiam. Matanya basah. Dan, sesenggukan massal pun menguasai lereng bukit yang api unggunnya sudah kedip itu.
Khatimah
Entah siapa yang mula-mula menerbangkan kabar itu: Tukang Cerita dikubur!
“Apa!” “Jadi ke langit ia pergi?” “Bagaimana ia mati?”
“Ada yang membunuhnya?” “Siapa pula yang mengebumikannya?” Tanya-tanya itu bersigesek dalam benak orangorang kampung. Mereka gegas ke bukit melalui ladang yang tak alang kepalang suburnya, sebelum mendapati onggokan tanah merah basah di sebuah sudut lembah. Pada pangkal dan ujungnya, tertanam batu bujang.
Orang-orang terperangah. Bukan pada kuburan yang baru saja dibuat itu, tapi bertanya-tanya mengapa beberapa ekor harimau menciumi batu bujang kembar itu. Lalu, bagaimana mendatangi makam bagai orang-orang yang melayat.
Senyap. Tatapan orang-orang menyisir ladang di lembah bukit. Tercenung di antara perasaan ganjil yang lamat-lamat menyelinap. Bukan, bukan membayangkan bagaimana bisa binatang-binatang itu menanam Tukang Cerita dan bagaimana pula mereka melakukannya. Bukan jua mempertanyakan siapa ahli waris ladang yang paling hijau itu. Bukan itu.
“Mungkin, ibunya membuka ladang baru di sana.”
Benar atau tidaknya dugaan yang entah dari mana datangnya itu; tak urung, hati mereka bersitidak dalam tangis yang tak berbunyi—karena pedih yang menyesak.
Dan, mereka pun meninggalkan lembah. Naik turun bukit. Kembali ke rumah masing-masing. Membawa serumpun ketakjuban, ketakpercayaan, dan berhibur dengan setangkai harap. Itu bukan kuburan Tukang Cerita! Kami hakkul yaqin, Nenek hanya merantau sejenak. Lalu kembali. Bercerita lagi. Suatu hari nanti. (*)
Lubuklinggau, 23 Agustus 2009-10 Februari 2010
Benny Arnas, peraih Anugerah Sastra Batanghari Sembilan 2009.