Breaking News

Puisi: Setelah Musim Kemarau Itu


Puisi Alam Terkembang

Setelah Musim Kemarau Itu

kemarau menindih tatapmu. warna jendela mengikuti bunga abu. sedang bayang-bayang tersandung-sandung kebosanan. terselip dihimpit pada suatu hari. aku baru ingat kita tak pernah mengalkulasi keadaan itu.

kemarau diam-diam menelurkan antologi. bait-bait kata amuk bermufakat wakili semua perasaan. jadi kumpulan karya terbaik di musim asap. entah tertuju ke siapa. para penyair pun menjadi fakir. “tulislah syairmu dengan kayu yang menjadi abu itu.” seorang ibu dalam sepi.

selanjutnya, kau ulang-ulang memanggil musim basah dengan suara ganjil. sungguh ingin kemarau berlalu. namun, sadarmu akan mereka - belum mengerti arti selembar daun - menjadikanmu terpasung cemas. di akhir kauambil keputusan mengejutkan, “musim kemarau harus dibenci.” kau sesak.

aku mengajakmu menyusuri udara segar yang tersisa. di selembar gambar pagi masih biru pada suatu saat. lalu tanpa lelah menuliskan surat-surat pembaca yang kita tuju kepada nama Tuhan, dengan pasrah berharap tak ingin tertinggal. sekalipun sekeping doa kayu jadi arang, tersebab api mengendap di rekah-rekah gambut dan di runcing dada mereka. kita menatap langit jerebu berkeping-keping air mata.

usai kemarau kita punya nada gembira yang mengelus dinding dada. sebagaimana wajah takdir yang tumbuh saat hujan: kita berbuat saja sebagaimana musafir lain. saat kemarau berlalu, Tuhan baru saja memperpanjang usia.

Pekanbaru, September 2019

Ilustrasi: https://www.renungankristiani.com/tanah-kering/