Anarkisme Bukan Ikon Gerakan Mahasiswa
PEKANBARU - Kecenderungan anarkisme yang mewarnai aksi mahasiswa dalam 1 tahun terkahir bukanlah icon dari gerakan mahasiswa, melaikan icon gerakan preman. Gerakan mahasiswa pada dasarnya sebuah gerakan intelektual yang bersifat visioner dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Gerakan yang anarkis justru akan menurunkan citra bangsa Indonesia sendiri. Tidak mungkin mahasiswa melakukan anarkisme dalam aksinya terlebih dahulu tanpa ada pemicunya. Demikian dikatakan ketua KAMMI Pusat Rijalul Imam S Hum MSi kepada Riau Mandiri, Kamis (21/10). Menurutnya perlu objektifitas bersama dalam menentukan siapa yang memicu terjadinya anarkisme dalam aksi. "Dalam setiap rapat persiapan aksi dengan gerakan mahasiswa lain pun dari yang pernah saya alami, bahwa tidak ada agenda untuk bersikap anarkis itu sendiri. Justru yang ada dilapangan ada pihak tertentu yang menyusup ke dalam barisan dan sengaja memprovokasi terjadinya kericuhan," jelasnya usai mengisi Talk Show Nasional Kammi Daerah Riau di Aula Rektorat UR.
"Icon gerakan mahasiswa adalah intelektual. Nggak mungkin membangun Indonesia ini dengan anarkisme. Saya sarankan kepada gerakan mahasiswa, kita perlu menjaga kekompakan dalam mengkritisi masalah yang terjadi di bangsa ini. Tapi mahasiswa juga tidak boleh mentolerir anarkisme itu sendiri. Saya ingin katakan bahwa anarkisme bukan berasal dari mahasiswa. Anarkisme di jalan bagian dari rekayasa pihak tertentu. Jadi kepada pihak yang dikritisi jangan membungkam gerakan kritis mahasiswa dengan cara-cara seperti itu," ungkapnya.
Sementara itu umumnya masyarakat masih menilai bahwa aksi tidak akan menyelesaikan masalah. Rijal berpendapat bahwa aksi adalah bagian dari pembentukan karakter bangsa. "Mahasiswa-mahasiswa adalah calon pemimpin bangsa. Salah satu cara pembangunan karakter bagi mahasiswa yakni turun ke jalan. Sebab seseorang yang vokal di forum, belum tentu di jalan berani menyuarakan aspirasi, atau berhadapan dengan polisi, dikejar-kejar anjing dan sebagainya. Maka calon pemimpin itu harus terlatih, baik di forum ataupun luar forum," tambahnya.
Pemimpin Harus Berani Mengambil Resiko
Lebih lanjut Rijal menjelaskan ada 4 karakter yang dibutuhkan bangsa ini dalam membangun bangsa yang bermoral. Pertama visioner, yakni cara pandang yang tidak terjebak dari masa lalu dan tidak terjebak dengan realitas kekinian. Yang kedua berani, bangsa ini membutuhkan orang-orang yang berani mengambil resiko dan tidak takut pula dengan resiko, tapi juga tidak nekad. "Berani inilah yang memunculkan nilai-nilai kedaulatan," tegasnya.
"Ketiga, Naturalisme. Yakni spirit dari ke-bhinnekaan dan keragaman. Biarkan karakter itu muncul natural dan tidak dominasi dengan iklan atau citraan yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan, agar masyarakat nantinya bisa meneladani pemimpinnya. Dan ke empat, yakni karakter keberpihakan. Karakter yang dibutuhkan oleh pemimpin sekarang. Harus jelas keberpihakannya kepada siapa," tandasnya.
Rijal mengambil contoh ketegasan negara Jepang dalam menolak masuknya produk dari Amerika, dengan tujuan ingin melindungi produksi dalam negerinya. "Nah, Indonesia sebaliknya. Produk luar negeri masuk terus menerus. Sementara kita diminta untuk mencintai produksi dalam negeri. Coba kita tanyakan mana produksi dalam negeri kita? Lantas produk dalam negeri yang mana ingin kita cintai? Bagaimana produk dalam negeri mau hidup bila produk luar terus diimpor. Inilah bukti ketidakberpihakan pemerintah kepada bangsa ini. Keberpihakan dalam konteks kebangsaan ini, saya definisikan sebagai sikap nasionalisme. Kita pertanyakan sikap nasionalisme pemerintah," tutupnya.
Selain Rijalul Imam yang hadir sebagai pembicara Talk Show yang mengangkat tema "mewujudkan pemimpin yang berkarakter untuk membangun bangsa Indonesia yang bermoral", hadir juga sebagai permbicara yakni Prof Dr Firdaus LN MSi (Akademisi Riau), dan Jefry Noer (Anggota DPRD Riau). Talk Show ini dalam rangka pembukaan pelaksanaan Dauroh Marhalah II oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Riau, yang digelar dari tanggal 21 hingga 24 Oktober 2010. mg16/RM
"Icon gerakan mahasiswa adalah intelektual. Nggak mungkin membangun Indonesia ini dengan anarkisme. Saya sarankan kepada gerakan mahasiswa, kita perlu menjaga kekompakan dalam mengkritisi masalah yang terjadi di bangsa ini. Tapi mahasiswa juga tidak boleh mentolerir anarkisme itu sendiri. Saya ingin katakan bahwa anarkisme bukan berasal dari mahasiswa. Anarkisme di jalan bagian dari rekayasa pihak tertentu. Jadi kepada pihak yang dikritisi jangan membungkam gerakan kritis mahasiswa dengan cara-cara seperti itu," ungkapnya.
Sementara itu umumnya masyarakat masih menilai bahwa aksi tidak akan menyelesaikan masalah. Rijal berpendapat bahwa aksi adalah bagian dari pembentukan karakter bangsa. "Mahasiswa-mahasiswa adalah calon pemimpin bangsa. Salah satu cara pembangunan karakter bagi mahasiswa yakni turun ke jalan. Sebab seseorang yang vokal di forum, belum tentu di jalan berani menyuarakan aspirasi, atau berhadapan dengan polisi, dikejar-kejar anjing dan sebagainya. Maka calon pemimpin itu harus terlatih, baik di forum ataupun luar forum," tambahnya.
Pemimpin Harus Berani Mengambil Resiko
Lebih lanjut Rijal menjelaskan ada 4 karakter yang dibutuhkan bangsa ini dalam membangun bangsa yang bermoral. Pertama visioner, yakni cara pandang yang tidak terjebak dari masa lalu dan tidak terjebak dengan realitas kekinian. Yang kedua berani, bangsa ini membutuhkan orang-orang yang berani mengambil resiko dan tidak takut pula dengan resiko, tapi juga tidak nekad. "Berani inilah yang memunculkan nilai-nilai kedaulatan," tegasnya.
"Ketiga, Naturalisme. Yakni spirit dari ke-bhinnekaan dan keragaman. Biarkan karakter itu muncul natural dan tidak dominasi dengan iklan atau citraan yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan, agar masyarakat nantinya bisa meneladani pemimpinnya. Dan ke empat, yakni karakter keberpihakan. Karakter yang dibutuhkan oleh pemimpin sekarang. Harus jelas keberpihakannya kepada siapa," tandasnya.
Rijal mengambil contoh ketegasan negara Jepang dalam menolak masuknya produk dari Amerika, dengan tujuan ingin melindungi produksi dalam negerinya. "Nah, Indonesia sebaliknya. Produk luar negeri masuk terus menerus. Sementara kita diminta untuk mencintai produksi dalam negeri. Coba kita tanyakan mana produksi dalam negeri kita? Lantas produk dalam negeri yang mana ingin kita cintai? Bagaimana produk dalam negeri mau hidup bila produk luar terus diimpor. Inilah bukti ketidakberpihakan pemerintah kepada bangsa ini. Keberpihakan dalam konteks kebangsaan ini, saya definisikan sebagai sikap nasionalisme. Kita pertanyakan sikap nasionalisme pemerintah," tutupnya.
Selain Rijalul Imam yang hadir sebagai pembicara Talk Show yang mengangkat tema "mewujudkan pemimpin yang berkarakter untuk membangun bangsa Indonesia yang bermoral", hadir juga sebagai permbicara yakni Prof Dr Firdaus LN MSi (Akademisi Riau), dan Jefry Noer (Anggota DPRD Riau). Talk Show ini dalam rangka pembukaan pelaksanaan Dauroh Marhalah II oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Riau, yang digelar dari tanggal 21 hingga 24 Oktober 2010. mg16/RM