Tarik Menarik Ide Cerita
Saya merasakan ide dan cara penyampaian pemikiran dalam sebuah karya sastra sekarang, cendrung bebas dan berbeda-beda. Atau barangkali hal semacam ini baru saya sadari setelah kaki saya benar-benar telah masuk ke “rumah sastra”, dan saya belum mengenal betul apa isi “rumah sastra” itu sendiri. Paling tidak yang saya rasakan ini adalah sebuah kegundahan pemikiran saya sebagai pendatang baru dalam dunia literasi akan hal itu.Munculnya perbadaan dalam konteks penyajian sebuah karya sastra; novel, cerpen, puisi dan kerabatnya, menurut saya bermula dari ego penulis. Kenapa saya katakan demikian? Kita selami terlebih dahulu masing-masing konteks dan tidak perlu banyak. Misalnya cerpen. Ketika saya mengenal cerpen waktu di sekolah dasar wajib 9 tahun dulu, yang saya pahami sebuah cerpen harus mengandung unsur tokoh, alur, latar, konflik, klimaks, amanat dan ending (kalau salah mohon dibetulkan).
Dan sekarang saya melihat (atau mungkin karena waktu itu adalah pelajaran sastra yang sangat dasar sekali, ya?) unsur-unsur tersebut, tidak mutlak digunakan. Misalnya cerpen yang tertulis dalam buku (kumpulan cerpen terjemahan) Salju Kilimanjaro, karya Ernest Hemmingway. Di sana hanya memuat cerpen yang jauh dari espektasi pembaca. Misalnya, ending yang biasa saja, tidak ada konflik, dll. Dan tidak itu saja yang saya temukan. Masih banyak cerpen yang justru sangat minim sekali konflik, amanat, penokohan dan lainnya, dan itu bukannya ditulis oleh penulis pemula. Tapi ditulis oleh penulis “top”.
Kembali ke ego penulis tadi. Munculnya hal-hal demikian penulis mencoba memaparkan sebab-musababnya, meskipun hanya sebatas subjektifitas saya. Pertama, penulis ingin punya karakter tersendiri. Ini adalah salah satu yang diinginkan penulis, ketika ia harus membuat sebuah karya sastra, adanya karakter dalam tulisannya. Sebab penulis ingin punya style yang beda dengan penulis lain. Artinya memang penulis tidak ingin dikatakan karyanya mirip dengan penulis lain. Bisa-bisa nantinya “di-cap” penulis yang plagiat.
Kedua, ideologi penulis. Tidak banyak memang yang mengetahui tentang hal ini. Tapi yang jelas ideologi menulis sangat berpengaruh besar pada style tulisan. Ketiga, apa ya? Anda mungkin punya jawabannya? Ingin tampil beda, aja? Bisa jadi. Sekarang zamannya suka beda-beda. Jadi tidak ada salahnya kita juga mesti beda membawakan sebuah karya. Kalau kebanyakan cendrung membawakan dengan gaya vulgar. Maka - karena kita ingin tampil beda - kita bawa dengan gaya yang lebih vulgar. Ups..maksudnya full god. Karya-karya yang sarat akan makna.
Demikian juga dengan sebuah ide cerita. Semakin hari ide cerita semakin variatif. Sampai-sampai kita tidak menemukan si-dia (ide cerita, red). Saya juga tidak tau kemana perginya. Mungkin sudah siap-siap ikut bersama Ibu Sri Mulyani ke World Bank, setelah adanya isyarat pemakzulan buat dirinya. Lho kok jadi nggak formal gini tulisannya. Em.. nggak pa lah. Kembali!
Demikian juga ide cerita. Ada yang mengangkat tema sederhana, ringan, berat (seberat apa ya?). Nah, ini yang jadi tantangan. Cerita seperti apa yang akan diangkat, dan supaya tidak dikatakan “klise” cerita itu? Ini memang sulit. Dan proses kita mencari itu justru akan memunculkan ide-ide yang baru. Ide yang lebih kreatif, dan tentunya bisa diterima juga layak dikonsumsi oleh pembaca.
Itulah sebuah realitas yang hari ini kita temukan. So? Tulisan kita mau dibawa ke mana?
Teratai 2010
Muflih Helmi
Dan sekarang saya melihat (atau mungkin karena waktu itu adalah pelajaran sastra yang sangat dasar sekali, ya?) unsur-unsur tersebut, tidak mutlak digunakan. Misalnya cerpen yang tertulis dalam buku (kumpulan cerpen terjemahan) Salju Kilimanjaro, karya Ernest Hemmingway. Di sana hanya memuat cerpen yang jauh dari espektasi pembaca. Misalnya, ending yang biasa saja, tidak ada konflik, dll. Dan tidak itu saja yang saya temukan. Masih banyak cerpen yang justru sangat minim sekali konflik, amanat, penokohan dan lainnya, dan itu bukannya ditulis oleh penulis pemula. Tapi ditulis oleh penulis “top”.
Kembali ke ego penulis tadi. Munculnya hal-hal demikian penulis mencoba memaparkan sebab-musababnya, meskipun hanya sebatas subjektifitas saya. Pertama, penulis ingin punya karakter tersendiri. Ini adalah salah satu yang diinginkan penulis, ketika ia harus membuat sebuah karya sastra, adanya karakter dalam tulisannya. Sebab penulis ingin punya style yang beda dengan penulis lain. Artinya memang penulis tidak ingin dikatakan karyanya mirip dengan penulis lain. Bisa-bisa nantinya “di-cap” penulis yang plagiat.
Kedua, ideologi penulis. Tidak banyak memang yang mengetahui tentang hal ini. Tapi yang jelas ideologi menulis sangat berpengaruh besar pada style tulisan. Ketiga, apa ya? Anda mungkin punya jawabannya? Ingin tampil beda, aja? Bisa jadi. Sekarang zamannya suka beda-beda. Jadi tidak ada salahnya kita juga mesti beda membawakan sebuah karya. Kalau kebanyakan cendrung membawakan dengan gaya vulgar. Maka - karena kita ingin tampil beda - kita bawa dengan gaya yang lebih vulgar. Ups..maksudnya full god. Karya-karya yang sarat akan makna.
Demikian juga dengan sebuah ide cerita. Semakin hari ide cerita semakin variatif. Sampai-sampai kita tidak menemukan si-dia (ide cerita, red). Saya juga tidak tau kemana perginya. Mungkin sudah siap-siap ikut bersama Ibu Sri Mulyani ke World Bank, setelah adanya isyarat pemakzulan buat dirinya. Lho kok jadi nggak formal gini tulisannya. Em.. nggak pa lah. Kembali!
Demikian juga ide cerita. Ada yang mengangkat tema sederhana, ringan, berat (seberat apa ya?). Nah, ini yang jadi tantangan. Cerita seperti apa yang akan diangkat, dan supaya tidak dikatakan “klise” cerita itu? Ini memang sulit. Dan proses kita mencari itu justru akan memunculkan ide-ide yang baru. Ide yang lebih kreatif, dan tentunya bisa diterima juga layak dikonsumsi oleh pembaca.
Itulah sebuah realitas yang hari ini kita temukan. So? Tulisan kita mau dibawa ke mana?
Teratai 2010
Muflih Helmi