Nikmat Membawa Sengsara
Rokok. Aku menyebut kata itu saja hampir tidak berani. Begitu angker dan menakutkan. Pikiranku langsung menerawang sesak. Sesesak dadaku saat terhirup asapnya yang selalu ku kutuk itu. Kata orang kesehatan, resiko yang didapat oleh bukan perokok justru lebih besar akan terserang penyakit. Dan sekarang aku merasakan sakit itu di dadaku. Mula-mula bila saja hidungku mengendus asap itu, terasa ada yang tersumbat di sana. Aku terus berharap orang-orang di sekitarku bisa menghargai aku untuk menghirup udara segar. Tapi, waktu semakin angkuh mengibas-ibas gumpalan yang semakin pekat di setiap ruangku. Hidung yang tersumbat tadi, seakan memicu sesak dadaku. Sampai-sampai emosiku terbakar. Aku benar-benar sakit hati kalau saja ada orang yang merokok. Ternyata emosiku berbuah lain. Dan asap itu dengan memaksa masuk dalam rongga dadaku terus ke paru-paru hingga mengganggu detak jantungku. Dadaku sering sakit, meski aku tidak tau apakah itu penyakit jantung.
Apa yang saya rasakan, sedikit banyak pasti juga dirasakan oleh orang lain. Bahkan sudah menjadi akut. Sudah jutaan rupiah uang yang dikelaurkan untuk menyembuhkan penyakitnya. Dan barangkali saja dia bukan perokok aktif. Tapi adalah korban dari ketidak-arifan individu yang memberhalakan kenikmatan setiap hisapan asap rokok. Bukankah tingkat ekonomi kita tidak sama. Apa jadinya kalau penderita itu adalah orang-orang miskin. Sementara secara personal ia adalah orang yang punya cita-cita besar untuk memperbaiki bangsa ini. Yang ditunggu-tunggu kontribusinya dalam memperbaiki akhlak anak-anak bangsa.
Barangkali orang yang saya maksudkan itu kini hanya tinggal nama yang terpahat papan nisannya. Ia hanya bisa merasakan usianya begitu singkat. Takdirnya terpaksa harus terputus oleh hembusan asap-asap yang mematikan pelan-pelan. Hingga manusia yang sesungguhnya kita harapkan, terus saja mati satu persatu oleh ulah manusia yang memberhalakan rokok.
Sementara debat haram-halal rokok terus saja digesa. Banyak yang pro, tidak sedikit juga yang kontra. Kenapa kita harus memaksakan dengan tidak mengharamkan pada diri kita. Sudah tidak sayangkah kita dengan raga yang dititipkan oleh yang seharusnya kita rawat? Dan apakah kita terus saja menunggu kebijakan-kebijakan yang lain, sementara kiat sendiri tidak bisa dipimpin? Kita renungkan.
Ah, engkau yang membaca catatan ini ku harap mengerti. Masih banyak orang-orang yang ada di sekitar kita yang menginginkan udara yang bersih, sehat. Masih banyak anak-anak bangsa ini yang membutuhkan nafkah lahir dari setiap rupiah yang seharusnya bisa kita belikan beras, membiayai anak-anaknya sekolah, membeli pakaian yang lebih layak menutup aurat, membimbingnya dalam keteduhan iman. Jangan biarkan paru-paru mereka terisi oleh racun yang mengamcam masa depannya. Saya tidak menyarankan anda untuk berhenti merokok. Tapi, ingatlah orang-orang di samping dan sekeliling kita benar-benar lebih nyaman dengan udara yang bersih dan sehat. Mengkin menurut anda itu adalah kenikmatan, tapi bagi kami adalah kesengsaraan.
Aku juga meninginkannya, seperti anak-anak anda, adik anda, kakak, ibu-bapak anda, teman anda, bahkan istri anda. Semoga!
By. Rumah Ikhtiar
Muflih Helmi
Apa yang saya rasakan, sedikit banyak pasti juga dirasakan oleh orang lain. Bahkan sudah menjadi akut. Sudah jutaan rupiah uang yang dikelaurkan untuk menyembuhkan penyakitnya. Dan barangkali saja dia bukan perokok aktif. Tapi adalah korban dari ketidak-arifan individu yang memberhalakan kenikmatan setiap hisapan asap rokok. Bukankah tingkat ekonomi kita tidak sama. Apa jadinya kalau penderita itu adalah orang-orang miskin. Sementara secara personal ia adalah orang yang punya cita-cita besar untuk memperbaiki bangsa ini. Yang ditunggu-tunggu kontribusinya dalam memperbaiki akhlak anak-anak bangsa.
Barangkali orang yang saya maksudkan itu kini hanya tinggal nama yang terpahat papan nisannya. Ia hanya bisa merasakan usianya begitu singkat. Takdirnya terpaksa harus terputus oleh hembusan asap-asap yang mematikan pelan-pelan. Hingga manusia yang sesungguhnya kita harapkan, terus saja mati satu persatu oleh ulah manusia yang memberhalakan rokok.
Sementara debat haram-halal rokok terus saja digesa. Banyak yang pro, tidak sedikit juga yang kontra. Kenapa kita harus memaksakan dengan tidak mengharamkan pada diri kita. Sudah tidak sayangkah kita dengan raga yang dititipkan oleh yang seharusnya kita rawat? Dan apakah kita terus saja menunggu kebijakan-kebijakan yang lain, sementara kiat sendiri tidak bisa dipimpin? Kita renungkan.
Ah, engkau yang membaca catatan ini ku harap mengerti. Masih banyak orang-orang yang ada di sekitar kita yang menginginkan udara yang bersih, sehat. Masih banyak anak-anak bangsa ini yang membutuhkan nafkah lahir dari setiap rupiah yang seharusnya bisa kita belikan beras, membiayai anak-anaknya sekolah, membeli pakaian yang lebih layak menutup aurat, membimbingnya dalam keteduhan iman. Jangan biarkan paru-paru mereka terisi oleh racun yang mengamcam masa depannya. Saya tidak menyarankan anda untuk berhenti merokok. Tapi, ingatlah orang-orang di samping dan sekeliling kita benar-benar lebih nyaman dengan udara yang bersih dan sehat. Mengkin menurut anda itu adalah kenikmatan, tapi bagi kami adalah kesengsaraan.
Aku juga meninginkannya, seperti anak-anak anda, adik anda, kakak, ibu-bapak anda, teman anda, bahkan istri anda. Semoga!
By. Rumah Ikhtiar
Muflih Helmi