Mahaguru dan Bahasa
SEPEKAN lalu saya mencatat tiga peristiwa yang berkaitan dengan kebahasaan. Pertama, rendahnya angka kelulusan siswa dalam Ujian Nasional untuk Bahasa Indonesia; kedua, pengukuhan Mahaguru Yusmar Yusuf di Rektorat Universitas Riau; dan ketiga, panel diskusi dengan tema ‘’Revolusi Pendidikan Lewat Tulisan’’, yang diselenggaraka oleh Forum Lingkar Pena Riau di Rektorat UIN, Riau, dengan menghadirkan panelis dua orang penulis ternama, Afifah Afra dan Muthmainnah.Bahasa Indonesia agaknya tidak mudah? Bukankah Bahasa Melayu adalah cikal bakal Bahasa Indonesia? Tetapi, Amerika Serikat pun di tahun 1970-an pernah mengalami masa-masa suram, ketika para siswanya memperoleh nilai yang rendah untuk Bahasa Inggris yang menjadi bahasa ibu mereka.
Laporan Newsweek 2 Desember 1991 dengan judul ‘’The Best Schools in The World’’ makin memperjelas betapa pendidikan AS jauh ketinggalan dari sejumlah negara. Selandia Baru terdepan pada nomor satu dalam pelajaran membaca dan menulis. Di Selandia Baru, 50 persen waktu belajar di kelas-kelas awal SD digunakan untuk pelajaran membaca dan menulis (Dedi Supriadi, 1999: 60).
Masalah bahasa ini menjadi serius manakala dikaitkan dengan kemampuan membaca dan menulis, dalam arti kemampuan mengekspresikan pemikiran dalam bentuk tulisan. Dan menjadi amat serius bila dihubungkan dengan kemampuan verbal pada umumnya anak didik kita. Idealnya seorang siswa harus memiliki kemampuan yang baik dalam membaca dan menulis serta memiliki kemampuan yang baik pula secara verbal.
Kemampuan itu akan menjadi modal yang sangat baik dalam pengembangan kapasitas sebagai calon-calon pemimpin di masa depan. Bila kelak, mereka tampil sebagai seorang pemimpin sungguhan, pada level apapun, mereka tidak akan kesulitan mentransformasikan ide-idenya.
Dewasa ini banyak masalah yang timbul dan kemudian berkembang menjadi aksi kekerasan, salah satu penyebabnya adalah karena miskinnya komunikasi. Dan itu masalah verbal ability. Tulisan yang ditulis oleh seorang pemimpin memperlihatkan kadar akademis sekaligus kontrol bagi sang pemimpin. Mengerjakan apa yang ditulis dan menulis apa yang dikerjakan, tentu sangat bagus dalam aspek akuntabilitas.
Prof Yusmar Yusuf memperlihatkan betapa peran bahasa dengan kemampuan verbal mumpuni bisa menjelaskan banyak hal sensitif menjadi sesuatu yang rasional dan mudah dicerna, dan tidak perlu ada yang merasa tersinggung. Dalam orasi pengukuhan yang menyentak-nyentak dan meronta-meronta selama hampir dua jam, Prof Yusmar Yusuf menyadarkan kita dalam banyak hal.
Secara kebetulan, ketiga peristiwa tersebut berlangsung dalam suasana peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2010. Barangkali tidak berlebihan bila dalam momentum peringatan Hari pendidikan Nasional ini kita melakukan sedikit kontemplasi tentang bahasa dan penulisan.
Pujangga pemenang Nobel sastra, Gabriel Garcia Marquez, berpesan, ‘’cara terbaik seseorang dapat menjalankan revolusi adalah tulisan sebaik yang dapat dia lakukan.’’ Tidak pun menggerakkan sebuah revolusi, tulisan membuat hidup lebih puitis. Verba volant scripta manent. Apa yang diucapkan akan diterbangkan angin, tapi apa yang ditulis akan abadi. ***
Komentar
Laporan Newsweek 2 Desember 1991 dengan judul ‘’The Best Schools in The World’’ makin memperjelas betapa pendidikan AS jauh ketinggalan dari sejumlah negara. Selandia Baru terdepan pada nomor satu dalam pelajaran membaca dan menulis. Di Selandia Baru, 50 persen waktu belajar di kelas-kelas awal SD digunakan untuk pelajaran membaca dan menulis (Dedi Supriadi, 1999: 60).
Masalah bahasa ini menjadi serius manakala dikaitkan dengan kemampuan membaca dan menulis, dalam arti kemampuan mengekspresikan pemikiran dalam bentuk tulisan. Dan menjadi amat serius bila dihubungkan dengan kemampuan verbal pada umumnya anak didik kita. Idealnya seorang siswa harus memiliki kemampuan yang baik dalam membaca dan menulis serta memiliki kemampuan yang baik pula secara verbal.
Kemampuan itu akan menjadi modal yang sangat baik dalam pengembangan kapasitas sebagai calon-calon pemimpin di masa depan. Bila kelak, mereka tampil sebagai seorang pemimpin sungguhan, pada level apapun, mereka tidak akan kesulitan mentransformasikan ide-idenya.
Dewasa ini banyak masalah yang timbul dan kemudian berkembang menjadi aksi kekerasan, salah satu penyebabnya adalah karena miskinnya komunikasi. Dan itu masalah verbal ability. Tulisan yang ditulis oleh seorang pemimpin memperlihatkan kadar akademis sekaligus kontrol bagi sang pemimpin. Mengerjakan apa yang ditulis dan menulis apa yang dikerjakan, tentu sangat bagus dalam aspek akuntabilitas.
Prof Yusmar Yusuf memperlihatkan betapa peran bahasa dengan kemampuan verbal mumpuni bisa menjelaskan banyak hal sensitif menjadi sesuatu yang rasional dan mudah dicerna, dan tidak perlu ada yang merasa tersinggung. Dalam orasi pengukuhan yang menyentak-nyentak dan meronta-meronta selama hampir dua jam, Prof Yusmar Yusuf menyadarkan kita dalam banyak hal.
Secara kebetulan, ketiga peristiwa tersebut berlangsung dalam suasana peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2010. Barangkali tidak berlebihan bila dalam momentum peringatan Hari pendidikan Nasional ini kita melakukan sedikit kontemplasi tentang bahasa dan penulisan.
Pujangga pemenang Nobel sastra, Gabriel Garcia Marquez, berpesan, ‘’cara terbaik seseorang dapat menjalankan revolusi adalah tulisan sebaik yang dapat dia lakukan.’’ Tidak pun menggerakkan sebuah revolusi, tulisan membuat hidup lebih puitis. Verba volant scripta manent. Apa yang diucapkan akan diterbangkan angin, tapi apa yang ditulis akan abadi. ***
Komentar