Breaking News

Cerpen; Anak Air Asin

Anak Air Asin
(Bambang Kariyawan)
Pemenang Jarapan Utama Lomba Menulis Cerpen Remaja ROHTO
Tingkat Nasional 2008

Sampan-sampan bergerak perlahan menyusuri tepian laut yang dihiasi rimbunan bakau, lambaian kelapa, dan tiupan cemara laut. Gerakannya perlahan seiring tiupan angin dan arus laut. Sampan-sampan yang mempunyai kajang, itulah istilah untuk menyebut sampan yang di atasnya diberi sirap atau atap dari daun kelapa. Kesehariannya kajang dijadikan rumah untuk bertempat tinggal. Beragam kegiatan manusia dilakukan di atas sampan tersebut mulai dari mandi, masak, tidur, dan kegiatan lainnya. Selama ratusan tahun, Suku Laut benar-benar menjadi ”manusia perahu”, yang hidup di atas perahu. Bagi mereka, laut adalah segala-galanya. Laut adalah ”rumah” yang memberikan naungan sekaligus kemerdekaan hidup.
Di salah satu sudut sungai Pulau Ngenang, Batam yang di tumbuhi hutan bakau dan hamparan pantainya terlihat seorang anak berusia sekitar 13 tahun sedang mengayuh sampan dan sesekali terlihat menebarkan jaringnya. Tebaran jaring sebuah keindahan ketika menyatu dengan hamparan biru laut dan membawa pancaran mata-mata harapan saat ikan-ikan menari-nari untuk memberikan kehidupan bagi yang menangkapnya.
”Atan... tolong carikan air tawar ya nak?” suara seorang emak memanggil anak lelakinya yang mulai beranjak remaja yang sedang memilah-milah ikan-ikan dan hasil laut lainnya.
“Iya mak,” Atan menjawab sambil mencari di hamparan laut kemungkinan ada tanda-tanda yang berbeda dari warna air laut yang lainnya berarti itulah tandanya ada air tawar. Atan dengan sigap mencari air tawar untuk emaknya dan sekaligus membawakan penyu dan teripang sebagai bahan makanan dan sekaligus untuk dijual.
”Hebat sekali anak emak ini, kau memang anak air asin kebanggaan kami, banyak teripang yang didapat, jangan lupa bawa ke darat jual sama tauke Cina tuh, cukuplah uangnya untuk beli beras dan sayuran,” kata emak sambil meminta Atan menuangkan air tawarnya ke dalam ember untuk minum.
”Penyu ini dimasak apa mak?”
”Nanti emak goreng dan buatkan sambal untuk kau tuh.”
Penyu merupakan salah satu hewan "cantik" di dasar laut. Bagi Suku Laut, para nelayan yang hidup nomaden penyu termasuk salah satu hewan laut yang mudah ditangkap. Bukan dijaring, tetapi ditombak. Mata tombak diikatkan pada sebuah tali dan diletakkan di ujung kayu. Setelah mata tombak ditancapkan ke penyu, tali pun ditarik.
***
Masyarakat Suku Laut memang masih dianggap sebagai masyarakat pedalaman bagi penduduk Kepulauan Riau. Peneliti Eropa dan Amerika menyebut mereka Gipsi Laut karena mereka hidup di atas perahu-perahu yang bergerombolan di lautan.
”Pak, mengapa kita tidak tinggal di rumah seperti yang ada di pantai?”
”Orang seperti kita takut melihat atap rumah yang tinggi Atan, kita sudah terbiasa tinggal di kajang yang atapnya pendek,” jelas bapak Atan.
Hari itu tetangga sampan sebelah bapak Atan ada yang akan melahirkan. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat bila seorang perempuan akan melahirkan maka dibawa ke darat untuk dilanjutkan prosesnya oleh dukun beranak atau kini oleh bidan desa. Pada saat bersamaan ada juga yang akan melangsungkan perkawinan. Semua tetap berlangsung di darat. Ada tradisi unik yang mereka pelihara dengan mensakralkan binatang anjing. Anjing dalam adat perkawinan Suku Laut ditempatkan di tangga masuk rumah mempelai laki-laki. Anjing yang digunakan juga harus anjing yang berbulu hitam.
“Kami sendiri tidak tahu-menahu mengapa harus anjing yang berbulu hitam
yang digunakan dalam adat perkawinan. Tetapi secara turun-temurun, anjing yang berbulu hitamlah yang menentukan sah atau tidaknya sebuah perkawinan,” ujar Tetua Suku Laut kepada Atan suatu ketika.
Pada saat mempelai perempuan menginjakkan kakinya di rumah mempelai laki-laki, sesepuh adat akan memukul anjing tersebut. Jika anjing yang dipukul itu langsung menggonggong, pernikahan dinyatakan sah. Tetapi kalau anjing yang dipukul tidak menggonggong, pernikahan pun tidak terjadi karena dianggap tidak sah.
“Itu pernah terjadi dan pernikahan dibatalkan karena anjing tidak menggonggong waktu dipukul. Itu tidak sah,” lanjut Tetua Suku Laut.
***
Atan sebagai mana anak laut yang lain pun masih sering berinteraksi dengan anak-anak seusia di darat. Kadang bermain bola, memanjat kelapa, menangkap ikan, dan kegiatan anak-anak lain yang menyenangkan untuk usianya. Kebetulan sebuah sekolah dasar terletak di tepi pantai, dan kadang Atan sempat melihat teman-temannya memakai seragam merah putih.
”Mak, boleh Atan sekolah seperti teman-teman Atan?”
”Tanyalah sama Bapak dulu, boleh atau tidak.” Atan berusaha meyakinkan bapaknya agar Atan bisa ikut bersekolah.
”Untuk apa Atan sekolah, anak laut itu yang paling penting bisa menangkap ikan, mencari penyu, mencari teripang. Tak perlu sekolahlah karena hal-hal seperti itu tidak akan ada kau dapat di sekolah.”
”Tapi Atan ingin Pak.”
”Sudahlah jangan mimpi yang macam-macam.”
***
Hari itu Atan kembali ke darat untuk bermain bersama teman-temannya, kali ini mereka bermain bersama Pak Budi, yang biasa mereka panggil dengan sebutan Pak Guru. Selesai bermain Pak Guru mengajak mereka berkumpul. Mereka ada rencana untuk mengelilingi pulau-pulau sekitar dengan menggunakan kapal kaya yang oleh penduduk setempat disebut dengan ”Pong Pong” setelah itu mampir sebentar ke Batam. Atan pun memberanikan diri menemui Pak Guru untuk bergabung dan menyatakan keinginannya untuk ikut dalam acara tersebut.
”Wah, boleh saja Atan akan bisa membantu kami dalam menunjukkan tempat-tempat yang belum temanmu kenal.”
’Tapi saya tidak punya uang banyak Pak.”
”Tidak usah dipikirkan.”
Kebahagiaan begitu dirasakan dalam diri Atan. Sesampainya di sampan, Atan menceritakan pengalamannya kepada bapaknya dan meyakinkan kalau kegiatan tersebut tidak memerlukan uang.
”Ya sudah pergilah, tapi ingat Bapak tidak bisa membawakan apa-apa.”
***
Hari itu dengan segenap hati yang membuncah bahagia, Atan berkumpul bersama teman-teman yang sangat peduli dengan keberadaan orang-orang seperti Atan, apalagi Pak Guru yang ternyata sangat antusias untuk memajukan pendidikan di pulau sekitar tempat Atan tinggal. Serombongan anak-anak kecil yang bahagia menuju ke sebuah pong pong yang diperkirakan dapat memuat penumpang sekitar 20 orang. Hamparan laut yang biru dan hijaunya pulau-pulau kecil, Pulau Tanjung Sauh, Pulau Kubung, dan Pulau Todak menjadi pemandangan dan perpaduan warna keteduhan. Keasyikan tak tertahankan ketika pong pong kami menelusuri pulau demi pulau Dan sejenak kami singgah di sebuah pulau yang disebut orang Air Raja. Di tepi pantai Atan seperti nalurinya memanggil untuk menanggap kepiting dan ikan-ikan serta kerang yang ada.
”Hebat kamu Tan, lumayan untuk menambah bekal diperjalanan.”
Ketika pong pong berlabuh di pelabuhan Sekupang Batam, serombongan siswa dan Pak Guru memasuki kota Batam yang kata orang surganya pencari kerja. Atan terkagum-kagum melihat kendaraan dan kota yang begitu moderen. Jalan-jalan beraspal, gedung-gedung menjulang, perumahan tersusun rapi dengan beragam tipe, benar-benar sebuah kemajuan.
”Kira-kira apa ya Pak, yang menyebabkan Batam menjadi begitu maju?”
”Karena banyak orang pintar di Batam”
”Biar bisa pintar bagaimana caranya Pak?”
”Atan harus rajin belajar.”
”Belajar ya Pak.”
”Iya, belajar. Salah satunya Atan harus bisa belajar membaca dan menulis. Dan karena Atan pintar melaut, maka pelajari ilmu melaut itu dengan sungguh-sungguh.”
Nasehat tersebut begitu merasuk ke dalam pikiran Atan. Sekembalinya dari Batam, muncul tekad untuk mengubah dirinya.
”Aku harus bisa membaca dan menulis, dan aku ingin belajar ilmu melaut dengan sungguh-sungguh.”
***
Sejak itu, selalu saja ada waktu bagi Atan untuk belajar melaut dari orang-orang tua Suku Laut dan Atan selalu meminta nasehat kepada Pak Guru bagaimana mengembangkan ilmu melautnya. Pak Guru menunjukkan bahkan mengajaknya pergi ke instansi terkait. Dan di sela-sela itu Atan selau menyempatkan untuk belajar membaca dan menulis. Bahkan dengan tidak malu-malu dengan ilmu yang sedikit tersebut Atan mengajak teman-temannya sesama suku laut untuk mau belajar membaca dan menulis.
”Anak laut itu yang penting bisa melaut, tidak perlu yang namanya sekolah,” salah seorang bapak bicara pada anaknya.
Walau banyak kontroversi dari orang tua teman-temannya namun dengan kesabaran dan ketekunan niat tersebut tetap dijalankannya. Bahkan Atan sering mengajak teman-temannya untuk sedikit demi sedikit mengubah pola melaut yang selama ini dijalankan orang tua mereka yang ternyata tidak mendatangkan keuntungan hanya untuk kebutuhan saja.
”Teman-teman, orang-orang seperti kita punya kelebihan dalam menangkap ikan, mari kita buat lebih baik dalam menangkap ikannya bukan hanya untuk diri kita. Mari kita buat tambak dan kelong untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Hasilnya bisa kita buat untuk sekolah. Anak laut harus sekolah,” nasehat Atan pada teman-teman yang mau bergabung dengannya.
***
Namun Atan ternyata dimarahi habis-habisan orang Tetua Suku Laut karena dianggap melanggar adat mereka dan tidak menghargai orang-orang tua mereka Bahkan Atan diminta untuk pergi dari masyarakat tempat mereka tinggal dan boleh kembali setelah tidak melakukan hal-hal yang aneh lagi.
”Bapak Atan, nasehati anak awak tuh, sebelum kami mengusir dengan kasar, kami minta Atan untuk pergi ke pulau seberang saja. Kalau tidak masyarakat Suku Laut akan rusak dengan cara anak awak tuh melaut,” tegas Tetua Suku Laut pada bapak Atan yang tidak bisa berbuat apa-apa dihadapan orang yang memang harus mereka patuhi.
”Emak, Atan pergi ke seberang saja,” pinta Atan pada emaknya. Walau dengan rasa berat hati bapak dan emaknya karena Tetua Suku Laut harus dipatuhi maka keputusan Atan ke pulau seberang harus disetujui.
Atan ditampung di rumah Pak Guru. Belajar membaca dan menulis makin giat. Dan keterampilan Atan melaut dikembangkan di pantai tempat tinggal barunya bersama Pak Guru. Masyarakat sangat menghargai usaha Atan mengingat kesibukan mereka bekerja untuk urusan ikan mereka mendapat bantuan dari Atan bahkan tidak sekedar ikan, bermacam makanan hewan laut bisa didapatkannya.
Ketekunannya tidak hanya sampai di situ. Dari hari ke hari disela-sela melaut, Atan menyempatkan diri ke hutan mengumpulkan kayu-kayu. Atan dengan tekunnya membuat kelong baru yang besar sekali ukurannnya, lengkap dengan rumah singgahnya.
***
Perjalanan waktu menempah kedewasaan Atan menapaki hidup. Ada saat-saat bekerja. Ada saat-saat melepas segenap kelelahan. Ada saat-saat Pak Guru menangkap kerinduan di wajah Atan kalau ia ingin bertemu dengan orang tuanya.
”Aku harus berbuat sesuatu,” pikir Pak Guru.
Pak Guru membawa petugas dari Dinas Perikanan untuk melakukan penyuluhan di tempat orang tua Atan. Di sela-sela acara penyuluhan, Pak Guru terlihat berbincang-bincang dengan sebuah keluarga dengan terlihat ekspresi gembira dan keharuan di wajah keluarga tersebut.
Seminggu kemudian,
Di sebuah kelong baru, ”Inilah kelong dan rumah yang dipersembahkan untuk Bapak dan Ibu,” jelas Pak Guru pada kedua orang tua Atan yang memancarkan wajah-wajah haru dan bahagia.
Emak Atan, ”Dimana Atan sekarang Pak Guru?”
”Anak air asin, disini Emak,” keluarlah Atan dari dalam rumah kelong tersebut.
Tanpa mengucapkan banyak kata. Atan pun berhambur memeluk kedua orang tuanya.

Catatan:
Anak air asin: sebutan anak suku laut